Langsung ke konten utama

Jalan-Jalan ke Lebak Picung (part 1)

Dua tahun yang lalu, saya melakukan penelitian di kampung adat Lebak Picung, Banten. Kampung merupakan cabang dari salah satu kasepuhan di daerah Banten. Tapi saya sendiri tidak tahu kampung bagian dari kasepuhan apa karena kalau dilihat dari silsilahnya terlalu rumit buat saya,, hehehe

Jalan menuju kampung ini, harus melewati perjuangan panjang. Tidak hanya jalannya yang masih berbatu-batu dan sempit (hanya bisa dilewati oleh motor, paling serem kalau habis hujan, karena batu-batunya sangat licin), jalan menuju kesana juga cukup jauh dan tentu saja naik turun!! Maklum, tempat ini sebenarnya berada di lembah, di salah satu kaki gunung halimun.

Pertama kali memasuki kampung ini, pemandangan yang dilihat adalah kumpulan "leuit" atau tempat penyimpanan padi. Kalau kata dosen saya, melihat pemandangan ini, seperti melihat pemandangan yang ada di film "The Last Samurai". hehehe...

Kumpulan Leuit

Ketika saya berada disana, saya baru menyadari, bahwa ternyata kemerataan pembangunan sampai di tahun 2009 pun masih belum tercapai. Kenapa? Karena ternyata di salah satu sudut daerah Banten ini, belum masuk jaringan listrik!! Saya pikir, hal ini hanya ada dulu, saat tahun 80-90an dan hanya terjadi di luar pulau Jawa. Ternyata dugaan saya salah. Lalu bagaimana kehidupan mereka tanpa listrik?

Hehehe, pernyataan saya diatas memang agak "lebay" alias berlebihan. Daerah ini memang belum menerima pasokan listrik dari PLN, tapi ternyata mereka sudah mandiri mengenai listrik dari zaman dahulu. Mereka memanfaatkan arus sungai yang mengelilingi kampung untuk membuat kincir air kecil-kecilan atau biasa mereka sebut turbin. Kincir air kecil dibuat dengan kayu dan dihubungkan dengan ban karet agar bisa berputar kemudian dihubungkan lagi dengan kabel untuk mengalirkan arus listriknya.They are smart!! Mereka bisa langsung menerapkan pengetahuan yang saya dapat sejak SD mengenai energi, perubahan energi kinetik menjadi energi listrik!.
Setiap kepala keluarga setidaknya mempunyai satu atau dua kincir ini. Memang energi yang dihasilkan tidak terlalu besar, tapi cukup untuk bisa menyalakan lampu saat malam hari, atau menyetel radio, dan juga kadang-kadang TV (untuk TV biasaya menggabungkan kincir air milik tetangga, he...)

Kincir air sederhana, sumber

Ketika tinggal disana, saya  merasa berada di zaman dahulu kala (^_^v). Terbiasa dengan kehidupan yang setiap menitnya bersama dengan barang-barang elektronik, sampai disana... TADA!! Benar2 hidup apa adanya. Lampu hanya menyala unutk malam hari, radio pun hanya dihidupkan sesekali. Tapi saya menikmatinya.. Inilah yang membuat saya bisa bersosialisai dan jalan-jalan menikmati kehidupan di kampung kecil ini, dan tentu saja yang paling utama adalah mengambil data! hehehe  :D

Tapi untungnya saat saya disana, PLN bekerjasam dengan tim PPLH-IPB sedang membangun program microhydro. Mereka membangun pembangkit listrik tenaga air, yang memanfaatkan arus sungai, sehingga kebutuhan listrik bisa mencukupi semua kepala keluarga disini, dan tentu saja tenaga listrik yang dihasilkan akan lebih besar dibandingkan dengan kincir air/turbin yang ada.. :)

Komentar

  1. jadi restoran D'Leuit itu artinya D'lumbungs yah? baru tauu~ hehehe,,

    baru liat foto lumbung padi lo yg ini, kpn kesana lagi? gw wajib ikut! :)

    BalasHapus
  2. iya om.. hehehe
    lw emang kudu liat sendiri n perhatiin kehidupan disana.. n make your own opinion about them! :)

    tp mungkin disana sekarang udah agak berubah,, :D
    klo mba ellyn nawarin kesana la,gw kabarin lw om,,
    yang buat gula-nya ntar ya gw post-nya. he...

    oia, itu foto diambil pake camera olympus punya dikau lho... ;D

    BalasHapus
  3. Hah? itu pake kamera gw? hasilnya bagus yah! tambah nyesek deh inget Olympus gw yg ilang di TU KPM T_____T balikin kamera gueee orang TU Oncoooomm!! :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Terdampar dan Tersesat (2)

Okeh, kembali ke cerita PKLP saya di Alas Purwo jilid II yang udah terlalu lama rilisnya (diprotes nih sama si Emak, hehe =P ), maka saya akan kembali mengingat memory akan kejadian lain yang tak terlupakan disana. Yak, sesuai judulnya kita “Tersesat!”  atau bahasa kerennya “Lost In The Jungle” (yang terdampar udah ada di jilid I, J ).  Nah, hari itu memang jadwal kami untuk mengambil data mengenai debit air ke salah satu Gua di dalam hutan yang berada di Resort Rowobendo.  Gua Bashori namanya, dan disanalah salah satu tempat sumber air yang mengalir ke Resort ini. Untuk mencapai gua ini, kita harus masuk tepi hutan di padang  penggembalaan sadengan. Sedikit cerita mengenai padang sadengan, padang penggembalaan ini merupakan habitat dari kawanan Banteng dan rusa, untuk makan dan minum. Tidak hanya itu, merak dan jenis burung lain juga terkadang berada di tempat ini. Karena hutan yang kita lewati  masih merupakan home range (wilayah jelajah) banteng, maka sepanjang jalan tid

Our Great Parents

Ini sebenarnya kejadian sudah cukup lama, sekitar 1,5 bulan yang lalu. waktu itu, sore pulang dari kampus saya naik angkot menuju ke rumah. pas baru aja naik, ada seorang bapak-bapak yang sudah duduk didalam bersama istri dan seorang anaknya. Saat saya baru mengatur duduk di dalam angkot (yang agak heboh dengan gembolan tas ransel berisi laptop dan cukup berat), tiba-tiba bapak tadi bertanya: “adek dari IPB? kuliah disana?” “iya pak” jawabku sambil senyum yang juga masih heboh ngatur letak tas ransel supaya dapat posisi ‘wuenak’. Sebenarnya agak boong dikit si, kan udah gak kuliah lagi.,hehee trus bapak tadi bertanya lagi: “adek jurusannya apa?” “saya di bidang kehutanan pak, jurusan konservasi.” jawabku langsung.. tiba-tiba bapak tadi melanjutkan: “Anak saya juga mahasiswa IPB, baru masuk sekarang.. ini tadi mau masuk asrama tapi karena katanya yg tinggal di sekitar jakarta-bogor boleh masuk besok,jadi besok aja masuknya”.. (kejadiannya pas banget waktu penerimaan mah

Gemblong Semangit

"Gemblong Semangit". Ya itulah sebutan untuk "proyek percobaan" buat gemblong dalam rangka ngisi waktu liburan. hehehe Sebenarnya, awalnya agak malas-malasan juga buatnya, tapi berhubung si bapak udah semangat 45 ngambil ini itu, dan gak berhenti ngoceh klo anaknya gal bantuin, maka diputuskanlah untuk ikut serta meramaikan pembuatan jajanan gemblong di rumah. :D Oia, namanya disebut "gemlong Seamangit" adalah karena baunya yang gosong! Gosong?! yup! itulah yang terjadi di awal proses pembuatan gemblong ini. hehehe Berhubung waktu ngukus ketan ama kelapanya ditinggal, dan seisi rumah gak pada ngeh klo ternyata ibu lg masak ketan, maka terjadilah tragedi gosongnya ketan itu. hehehe ^^v Tapi pas dilihat-lihat masih oke juga tu ketan, maka perjuangan membuat gemblong dilanjutkan. Berhubung yang paling ngebet pengen makan gemblong adalah Bapak, maka yang paling semangat buat numbuk ketan mpe halus adala beliau. Gw?? Seperti biasa, cuma bantuin nyomot2 ketan